Klitih di Jogja Marak lagi, Tewaskan Anak Anggota DPRD Kebumen

Aksi klitih yang kembali terjadi pada Minggu (3/2/2022) dini hari di Yogyakarta. Kejadian Kali ini, klitih memakan korban jiwa yaitu seorang pelajar dari sekolah menengah atas (SMA).

Pelajar yang bernama Daffa Adziin Albasith (18) yang telah menjadi korban tewas oleh klitih di Gedongkuning, Jogjakarta yang ternyata adalah anak dari seorang anggota DPRD Kebumen Madkhan Anis. Korban menjadi korban klitih ketika keluar untuk mencari makan sahur.

Mengutip dari Kompas.com (4/4/2022), Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DI Yogyakarta Kombes Pol Ade Ary Syam menjelaskan kronologi kejadian.

Kronologi Kejadian Klitih di Jogja

Pada hari minggu dini hari sekitar pulul 02.10 WIB, Tim Patroli Sabhara Polda DIY dan Kepolisian Sektor Kotagede menemukan seorang remaja laki-laki dengan luka pada bagian wajah di Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta.

“Pelaku diduga menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Dua kendaraan, satu kendaraan ditumpangi dua orang dan satu kendaraan ditumpangi tiga orang,” kata Ade.

Ade menambahkan, korban berinisial D pada saat itu sedang berkendara dengan temannya,kemudian berpapasan dengan para pelaku di Jalan Gedongkuning.

Tak lama kemudian setelah berpapasan, pelaku langsung menyabetkan gir yang kemudian mengakibatkan luka parah pada kepala korban D.

Korban kemudian segera dilarikan ke rumah sakit oleh polisi yang berpatroli, namun sayang nyawa korban tidak dapat diselamatkan.

Atas kejadian ini, beberapa warganet menyebut D adalah merupakan korban dari klitih yang akhir-akhir ini kembali marak terjadi di Jogja.

Seperti cuitan dari salah satu warganet pada Minggu (3/4/2022) pukul 03.09 WIB, “Min dapat info ada yang kena Klitih deket Balai Banguntapan jln Gedongkuning.”

Apa itu klitih?

Dikutip dari Kompas, 18 Desember 2016, berdasarkan Kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito, kata klitih adalah bentuk pengulangan dari klitah-klitih yang memiliki makna jalan bolak-balik.

Tim Patroli Sabhara Polda DIY dan Kepolisian Sektor Kotagede menemukan remaja laki-laki yang mengalami luka pada bagian wajah di Jalan Gedongkuning, Kota Yogyakarta.

Pranowo, Seorang Pakar Bahasa Jawa yang sekaligus adalah Guru Besar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, menjelaskan bahwa klitah-klitih masuk ke dalam kategori dwilingga salin suara atau kata ulang yang berubah bunyi.

Kata klitih tersebut sama halnya dengan kata pontang-panting dan mondar-mandir.

Pranowo menambahkan, kata klitah diartikan sebagai sebuah kegiatan berkeliaran atau jalan-jalan dengan tujuan yang tidak jelah arahnya.

Sebenarnya kata klitah-klitih sendiri sama sekali tidak mengandung unsur negatif. Namun sekarang, Pranowo menyebut kata ini kerap dipakai untuk menunjuk pada aksi-aksi kejahatan dan kriminalitas.

“Katanya pun hanya dipakai sebagian, menjadi klitih atau nglitih yang maknanya cenderung negatif,” terang Pranowo.

Sudah ada Sejak 1990-an

Istilah klitih mulai marak menjadi pemberitaan media sekitar tahun 2016. Tercatat, telah ada setidaknya 43 kasus kekerasan yang melibatkan remaja saat itu.

Merujuk pada arsip Harian Kompas, kemunculan kriminal yang kebanyakan melibatkan para remaja sudah ada sejak tahun 1990-an.

Diberitakan pada 7 Juli 1993, Kepolisian Wilayah (Polwil) DIY mulai memetakan geng-geng remaja yang ada di Yogyakarta yang ditengarai sering melakukan aksi kejahatan.

Hingga pada tahun 2000-an, Wali Kota Yogyakarta saat itu, Herry Zudianto menjadi geram dan kemudian mengeluarkan instruksi supaya pelajar Yogyakarta yang terlibat tawuran untuk dikembalikan kepada orang tua atau dikeluarkan dari sekolah.

“Akhirnya beberapa pelajar yang kemudian sadar, tidak lagi terlibat. Tapi anak-anak yang masih dalam lingkaran kekerasan, mencari atau melampiaskan ke jalanan. Inilah kemudian terjadi penyimpangan makna klitih,” ujar Soeprapto.

Kemudian, mereka pun akan berkeliling kota untuk mencari musuh secara acak. Sehingga, bisa dikatakan motif kekerasan yang tadinya balas dendam, saat ini menjadi semakin beragam.

Bahkan saat ini, aksi pelajar tersebut telah menggunakan alat-alat seperti rantai, gir sepeda motor, celurit, golok, dan berbagai senjata tajam lainnya.

Peran penting keluarga

Terkait dengan fenomena klitih yang marak di Jogja, Soeprapto menuturkan, pihak keluarga, sekolah, lembaga pendidikan, agama, serta kepolisian diperlukan untuk segera mencari solusi.

Mengingat banyaknya kasus klitih yang terjadi pada malam hari, ia mengimbuhkan, pengawasan ketat dari keluarga akan sangat memperkecil kemungkinan terjadinya tawuran dan kekerasan.

Soeprapto juga menyorot fungsi dari perlindungan keluarga kepada anak remajanya yang lemah dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok remaja ini.

“Kalau dulu anak dianiaya sambatnya ke orang tua, tapi sekarang pada kelompoknya, Itu menandakan fungsi keluarga melemah,” imbuhnya.

Tinggalkan komentar