Tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah

Jakarta Tanam paksa disebut juga dengan Cultuurstelsel, yakni suatu kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Meski tanam paksa merupakan kebijakan pemerintah kolonial Belanda, kebijakan tersebut ditentang oleh beberapa tokoh Belanda sendiri.

Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Eduard Douwes Dekker. Dia pernah menjadi asisten residen di Lebak (Banten), sehingga memiliki pengetahuan mendalam tentang tindakan tidak benar yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam kerangka sistem tanam paksa.

Eduard Douwes Dekker menulis sebuah karya buku berjudul “Max Havelaar” (lelang kopi perdagangan Belanda) yang diterbitkan pada tahun 1860. Dalam karya tersebut, ia menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh penerapan sistem tanam paksa.

Selain Eduard Douwes Dekker, salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Baron Van Hoevell dan Mr. Van Deventer. Untuk mengenal lebih dalam siapa saja mereka.

Apa yang dimaksud dengan sistem tanam paksa?

Sistem tanam paksa (dikenal juga dengan istilah tanam wajib) adalah sistem ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sistem ini mewajibkan penduduk pribumi untuk menanam sebagian dari lahan pertanian mereka dengan tanaman komoditas tertentu, terutama nilam, kopi, tebu, dan tembakau. Tanaman-tanaman tersebut kemudian dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sangat rendah.

Sistem tanam paksa ini sangat merugikan bagi penduduk pribumi karena mereka harus menggunakan sebagian besar waktu dan sumber daya untuk menanam tanaman komoditas yang ditentukan oleh pemerintah, sehingga mengurangi produksi pangan mereka sendiri. Selain itu, harga yang rendah juga membuat mereka sulit untuk memperoleh penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sistem ini menyebabkan penderitaan dan kemiskinan di kalangan penduduk pribumi, serta menimbulkan banyak perlawanan dan protes dari mereka.

Eduard Douwes Dekker

Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Eduard Douwes Dekker. Dilansir dari laman Kemdikbud, Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli, adalah seorang penulis Belanda terkenal yang lahir pada 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda, dan meninggal pada 19 Februari 1887 di Ingelheim am Rhein, Jerman, pada usia 66 tahun. Salah karya terkenalnya adalah novel satiris “Max Havelaar” (1860), yang mengkritik perlakuan buruk kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi di Hindia-Belanda.

Eduard pernah menjadi asisten residen di Lebak, Banten, pada 1856. Selama masa tugasnya, ia menemukan bahwa situasi di Lebak jauh lebih buruk daripada yang ia dengar sebelumnya. Bupati Lebak, yang memerintah selama 30 tahun, terjebak dalam kesulitan keuangan dan memaksa penduduk distriknya untuk bekerja rodi dengan imbalan hasil bumi dan ternak yang murah. Eduard melaporkan kejadian-kejadian ini kepada atasan dan meminta tindakan, tetapi tidak mendapat dukungan yang memadai.

Pandangan Eduard tentang tanam paksa terungkap dalam karyanya “Max Havelaar”. Dalam buku ini, ia mengkritik keras praktik tanam paksa dan pemerasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan pejabatnya. Eduard menyuarakan keadilan bagi masyarakat pribumi dan mengecam eksploitasi yang dilakukan oleh pihak kolonial. Melalui karyanya, Eduard berusaha mengungkap kebenaran dan ketidakadilan yang terjadi di Hindia-Belanda.

Setelah meninggalkan pekerjaannya sebagai asisten residen, Eduard menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan dan mengalami masa sulit. Namun, tekadnya untuk menjadi pengarang terwujud ketika ia menulis “Max Havelaar”. Karya ini memberikan suara kepada rakyat Indonesia yang menderita akibat sistem tanam paksa dan pemerintahan kolonial yang tidak adil. Dengan menggunakan nama pena “Multatuli,” Eduard memilih ungkapkan keprihatinannya terhadap penderitaan yang dialami baik oleh dirinya sendiri maupun rakyat Indonesia.

Buku “Max Havelaar” mengguncang masyarakat Eropa dan membuka mata terhadap kondisi yang sebenarnya terjadi di Hindia-Belanda. Pandangan Eduard tentang tanam paksa dan eksploitasi kolonial melalui karyanya ini menjadi penting dalam memahami perlawanan terhadap penjajahan dan semangat perubahan di masa itu.

Baron Van Hoevell

Baron van Hoevell (1794–1873) adalah seorang politisi Belanda dan pendeta Gereja Reformasi yang dikenal karena perjuangannya melawan sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Dia merupakan anggota parlemen Belanda dan menggunakan posisinya untuk mengkritik keras praktik kolonial yang tidak manusiawi.

Pada tahun 1854, Van Hoevell melakukan perjalanan ke Hindia Belanda dan menyaksikan sendiri dampak buruk sistem tanam paksa terhadap penduduk pribumi. Setelah kembali ke Belanda, ia aktif menyuarakan reformasi kolonial dan hak asasi manusia di parlemen. Pada tahun 1856, ia memberikan pidato bersejarah di parlemen yang mengecam keras praktik tanam paksa dan meminta penghapusan sistem tersebut.

Baron van Hoevell dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia. Usahanya memberikan kontribusi besar dalam perjuangan untuk mengakhiri sistem tanam paksa dan mendorong reformasi kolonial yang lebih manusiawi.

Mr. Van Deventer

Mr. Jacobus Cornelius Van Deventer (1866–1931) adalah seorang politikus Belanda yang juga dikenal karena perjuangannya melawan sistem tanam paksa di Hindia Belanda. Ia terpilih sebagai anggota Tweede Kamer (parlemen Belanda) pada tahun 1901 dan kemudian menjadi anggota Eerste Kamer (senat Belanda) pada tahun 1919.

Sebagai anggota parlemen, Van Deventer menjadi salah satu advokat utama untuk reformasi kolonial di Hindia Belanda. Ia menentang keras sistem tanam paksa dan menyuarakan hak asasi manusia bagi penduduk pribumi. Pada tahun 1900, ia memimpin sebuah komisi parlemen yang menyelidiki kondisi di Hindia Belanda, yang kemudian menghasilkan laporan yang mengkritik keras kebijakan kolonial Belanda.

Upaya Van Deventer bersama dengan tokoh-tokoh lainnya, seperti Douwes Dekker dan Baron van Hoevell, merupakan bagian dari gerakan reformasi kolonial yang semakin berkembang pada awal abad ke-20. Usahanya membantu membuka jalan bagi perubahan signifikan dalam kebijakan kolonial Belanda di Hindia Belanda, termasuk penghapusan sistem tanam paksa pada tahun 1918.

Kesimpulan

Sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel adalah salah satu kebijakan kolonial Belanda di Hindia Belanda yang mewajibkan penduduk pribumi untuk menanam sebagian lahan mereka dengan tanaman komoditas tertentu untuk diekspor. Kebijakan ini sangat merugikan bagi penduduk pribumi dan menimbulkan penderitaan serta kemiskinan. Beberapa tokoh Belanda, seperti Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Baron Van Hoevell, dan Mr. Van Deventer, menentang keras sistem ini dan berjuang untuk mengakhiri praktik kolonial yang tidak manusiawi tersebut.

FAQ

  1. Apa itu sistem tanam paksa? Sistem tanam paksa adalah kebijakan ekonomi pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda yang mewajibkan penduduk pribumi untuk menanam sebagian lahan mereka dengan tanaman komoditas tertentu untuk diekspor, seperti kopi, tebu, dan nila.
  2. Siapa saja tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa? Beberapa tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa antara lain Eduard Douwes Dekker (Multatuli), Baron Van Hoevell, dan Mr. Van Deventer.
  3. Apa kontribusi tokoh-tokoh tersebut dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda? Tokoh-tokoh tersebut menggunakan pengaruh dan posisi mereka untuk menyuarakan keadilan bagi penduduk pribumi, mengkritik praktik kolonial yang tidak manusiawi, dan memperjuangkan reformasi kolonial yang lebih adil dan manusiawi. Upaya mereka membantu mengakhiri sistem tanam paksa dan membuka jalan bagi perubahan kebijakan kolonial yang lebih baik.

Tinggalkan komentar